Thursday, February 28, 2013

Kenangan dan Kelekatan



Berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi saya sejauh ini, sebuah kenangan memiliki dua sisi, sisi melekat dan tidak melekat. 

Sisi melekat dari sebuah kenangan adalah ketika kita mengingat sebuah kenangan dan berpikir, “indahnya saat-saat itu, andai aku bisa mengulangi momen-momen indah itu, andai waktu bisa kuputar kembali ke saat itu..” Sisi ini jelas sangat merugikan bagi seseorang yang mengalaminya. Sisi ini hanya menimbulkan kesedihan, sedih karena secara tidak langsung kita berpikir bahwa saat ini tidak seindah saat itu, dan pada kenyataannya kita tidak bisa kembali ke waktu itu dan mengulangi semuanya. 

Saya bercermin pada pengalaman diri sendiri. Saat pertama saya mengikuti lomba dan kompetisi, saya memiliki niat untuk menguji kemampuan, menguji diri. Tetapi seiring dengan beberapa keberhasilan yang saya peroleh dalam perlombaan yang saya ikuti, secara tidak sadar niat saya menjadi bergeser, menjadi melekat dengan sisi kenangan yang satu ini. Saya tidak lagi murni memiliki niat untuk menguji diri, tetapi ingin mengulangi kesuksesan yang saya peroleh dari lomba-lomba sebelumnya, karena saya memiliki kenangan. Kenangan betapa indahnya saat-saat kemenangan itu. Saya terus mengikuti lomba. Ketika menang saya senang, namun hanya bertahan beberapa saat, saat yang sungguh singkat, sisanya batin saya kembali menderita seperti seseorang yang kehausan, ingin segera memperoleh kemenangan lagi untuk pemuasan yang sungguh bertahan singkat. Ketika kalah saya sedih, karena tidak bisa mengulangi momen kemenangan yang ada dalam ingatan saya tersebut. Akhirnya ini menjadi sebuah pengejaran tanpa henti. Pengulangan yang penuh penderitaan. Namun sayangnya justru sisi kenangan inilah yang paling sering ditonjolkan dalam film drama dari negara manapun, dan lagu-lagu bertema cinta dengan bahasa apapun.

Sisi kedua adalah sisi yang lebih positif. Sisi ini mengingatkan kita akan nilai-nilai baik yang terdapat dalam kenangan tersebut dan menuntun kita untuk kembali pada nilai-nilai baik tersebut ketika kita mulai menyimpang. Contohnya adalah ketika kita mengenang perjuangan para pahlawan kemerdekaan, kita diingatkan akan nilai-nilai kebersamaan, kegigihan, pantang menyerah, dan sebagainya. Contoh lain adalah ketika saya mulai merasa malas dan saya mengingat momen-momen kritis dalam perlombaan yang sangat menentukan kemenangan, dimana semua peserta mengeluarkan seluruh usaha dan kemampuan terbaiknya, saya menjadi kembali bersemangat karena diingatkan mengenai arti dari sebuah perjuangan.

Jadi, seperti hal-hal lain di dunia ini, kenangan pun menurut saya adalah netral. Bagaikan keping uang logam yang memiliki dua sisi, demikian pula semua hal memiliki sisi baik dan sisi buruk. Sesuatu yang kita lakukan dengan hal itulah yang menentukan hal itu menjadi baik atau buruk. Sisi mana yang kita pilih, adalah suatu kebebasan, dan semuanya kembali pada diri kita masing-masing.

Tuesday, February 26, 2013

Dramatisasi dan Pencapaian



Suatu pencapaian dalam hidup belum tentu diawali dengan sesuatu yang dramatis. Sesuatu yang dramatis belum tentu diikuti dengan sebuah pencapaian.

Pada waktu seorang manusia dilahirkan, ia tidak bisa berjalan. Seiring berjalannya waktu, ia belajar dan belajar hingga akhirnya mampu berdiri, berjalan, dan bahkan berlari. Sebenarnya ini merupakan pencapaian yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Dalam istilah yang sedang menjadi trend, ini adalah fenomena from zero to hero. Namun tidak ada sesuatu yang dramatis. Tidak ada proses yang berlebihan seperti “sang bayi terus berjuang, jatuh bangun, meskipun ia merasakan sakitnya jatuh, tetapi ia bangun kembali karena tekad kuat dalam hatinya, ‘saya harus bisa berjalan. Saya Harus Bisa!’” Semuanya berjalan secara alamiah, natural, dan apa adanya.

Sebaliknya, banyak dari kita yang setiap tahun baru membuat resolusi, “Ini adalah tahun yang baru. Saya akan memulai tahun yang baru ini dengan semangat baru. Saya akan mencapai sesuatu yang luar biasa dan baru di tahun yang baru ini.” Namun pada prakteknya, sebelum memasuki bulan Februari pun semangat baru tadi sudah hilang entah kemana. 

Atau mungkin beberapa dari antara kita menyadari kebiasaan kita yang merugikan, ingin mengubahnya, bertekad di dalam hati, dan berkata pada diri sendiri dengan dramatis, “Cukup sudah! Mulai sekarang saya akan berubah! Saya sudah bosan dengan kebiasaan lama itu!” Namun selang beberapa hari, ia pun sudah berubah, berubah kembali ke kebiasaan lamanya.

Fenomena ini saya temukan dengan berkaca pada pengalaman diri. Banyak pencapaian diri saya yang menurut saya luar biasa tidak diawali dengan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang dramatis. Saya ambil contoh penulisan dan penerbitan buku saya yang pertama. Saya sama sekali tidak pernah membuat tekad yang berkobar-kobar bahwa saya harus bisa menerbitkan sebuah buku. Saya hanya memiliki keinginan untuk menulis sebuah buku saat itu. Namun hasilnya sungguh luar biasa dan menggembirakan, sebuah buku atas nama saya yang beredar di seluruh Indonesia.

Di lain sisi, terkadang saya mengalami sesuatu yang dramatis dan mengira itu adalah awal dari sebuah pencapaian besar, meskipun ternyata tidak ada sesuatu pun yang terjadi setelah itu. Misalnya, seringkali di awal semester baru perkuliahan saya begitu bersemangat saat membaca beberapa nama mata kuliah yang akan saya ambil, saya berpikir, “Ini luar biasa! Sebentar lagi saya akan mempelajari dan menguasai pengetahuan tentang … (nama mata kuliah)” Namun begitu mulai kuliah, “Astaga! Apa ini? Kenapa begini isinya?” Semangat dan harapan saya pun hilang sedikit demi sedikit, pertemuan demi pertemuan. Sebaliknya saya seringkali mendapat inspirasi pengetahuan dari beberapa mata kuliah yang sama sekali tidak menarik bila dilihat dari namanya.

Kumpulan pengalaman itulah yang mendasari pemikiran saya tersebut. Mungkin dari pemikiran tersebut bisa dipetik manfaat, yaitu jangan terlalu optimis dan over expected akan sesuatu yang dramatis, dan jangan meremehkan sesuatu yang terlihat biasa saja dan tidak menarik. Siapa tahu di balik hal yang sangat biasa tersebut tersimpan sesuatu yang luar biasa.

Tuesday, February 12, 2013

What I Have Realized About Loneliness

Loneliness is not a physical state, it is only a state of mind. It cannot be fixed by physically moving to a crowded place, but it can surely get fixed by directing your focus and attention to nearby objects, either it is near in context of time, or space.

Sometimes moving to a crowded place full of friends can get rid of it, but I think that it works because the attention is accidentally shifted to nearby friends. However, it is not always working every time because of it's accidental nature. Thus, it is worthy to try fixing it without moving the entire body even an inch.