Wednesday, July 25, 2012

Baterai Laptop yang Menginspirasi

Selama ini saya memiliki pertanyaan yang belum terjawab. Singkatnya, apakah dalam hidup ini saya harus bekerja keras, ataukah harus menikmatinya saja?

Jika bekerja keras mengejar impian, harapan, dan cita-cita tanpa henti, lama-kelamaan pasti kesehatan akan menurun dan malah bisa sakit. Akhirnya seakan-akan saya tidak menghargai kesehatan. Saya telah banyak mendengar cerita orang yang terlalu obsesif mengejar sesuatu dengan bekerja keras dan malah berakhir sakit keras.

Jika beristirahat selalu, menikmati hidup, dan tidak bekerja keras, saya akan merasa hidup saya tidak berisi, tidak bermakna, dan tidak ada artinya. Hampa. Satu kata yang tepat untuk menggambarkannya.

Hari ini saya terinspirasi dari baterai laptop. Ketika baterai itu hampir habis alias low battery, baterai tersebut harus dicharge. Namun jika baterai itu sudah penuh, jika terus menerus dicharge bisa-bisa malah bocor baterainya.

Begitu pula dengan hidup. Sesekali setelah bekerja keras dengan sepenuh hati, kita perlu istirahat untuk memulihkan tenaga kita, energi kita, untuk kembali bekerja keras dengan kekuatan yang telah direfresh dan semangat baru. Namun jika terlalu lama beristirahat, hidup kita tentunya akan terasa sangat hampa dan tidak bermakna. Jadi prinsip utama di sini lagi-lagi ternyata keseimbangan antara keduanya.

Lalu, kapan kita tahu saatnya energi kita habis dan harus beristirahat, dan saatnya energi kita telah pulih untuk kembali bekerja keras? Pertanyaan ini lebih tepat diajukan ke tubuh kita sendiri, karena jika kita peka, sebenarnya tubuh ini telah memiliki sensor yang dapat mendeteksi hal tersebut :)

Wednesday, July 18, 2012

Menyusun Batu, Mendaki Lebih Tinggi

Siang hari tadi saya secara tidak sengaja mendengar siaran salah satu stasiun radio. Tiba-tiba ada satu hal menarik yang dikatakan penyiarnya, kira-kira seperti ini:

“Kalau kita mendengar saran dari orang lain, mungkin sebagian besar dari kita masih bisa menerimanya dengan tersenyum. Namun ketika mendengar kritik, sepertinya hanya tinggal sebagian kecil saja yang masih bisa menerimanya dengan tersenyum. Lalu bagaimana seharusnya? Agnes Monica pernah mengatakan hal ini mengenai cara menanggapi kritik: ‘Anggap saja kritik itu adalah batu. Ketika kita dilempari batu tersebut oleh orang lain, jangan marah, jangan juga menghindar. Tangkap saja batu itu, kumpulkan, lalu susun dan tumpuklah dengan rapi agar kita dapat berpijak naik ke atasnya. Dengan begitu kita telah menjadi setingkat lebih tinggi dari sebelumnya.’”

Wow! Saya terkesima. Sungguh filosofis! Lalu saya bertanya dalam hati, “Jika kritik itu memang kritik yang membangun tentu saja bisa membuat kita menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, tapi bagaimana jika kritik itu ditujukan dengan niat yang kurang baik? Kan tidak semua orang melontarkan kritik dengan niat baik..”

Namun sejenak kemudian saya menemukan jawabannya, “Jika batu itu bagus dan dapat digunakan untuk membangun fondasi tempat kita berpijak, ya gunakan. Jika batu itu jelek dan tidak beraturan, bukan batu yang dapat ‘membangun’, ya buang saja, jangan digunakan” :)

Bersenang-senang Dahulu, Bersenang-senang Kemudian

Ada seorang karyawan baru di sebuah perusahaan yang memiliki ambisi yang sangat besar untuk segera naik jabatan agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Saking besarnya, ia bahkan seringkali mengorbankan waktu untuk dirinya sendiri menikmati hidup, waktunya bersama keluarga dan teman-teman, bahkan waktu tidurnya sekalipun. Semuanya ia dedikasikan untuk bekerja keras agar segera naik jabatan.

Dalam waktu yang singkat, ia pun dipromosikan menjadi supervisor. Gajinya meningkat. Ia pun kini dapat membeli barang-barang yang tidak dapat dibeli sebelumnya. Namun semua kepuasan itu hilang hanya dalam beberapa hari. Ia pun kembali menginginkan barang-barang lain yang tidak dapat dibelinya sekarang. “Jika aku punya semua itu, pasti aku lebih bahagia”, pikirnya. Ia pun bekerja lebih keras lagi dan lebih keras lagi untuk terus naik jabatan. Namun selalu saja kebahagiaan yang dirasakannya hanya beberapa saat saja setelah kenaikan jabatan.

Singkat kata singkat cerita, kini jabatannya adalah direktur. Ia punya mobil Porsche, rumah mewah, dan sebagainya. Namun tak lama kemudian kesehatannya memburuk dan akhirnya diopname dirumah sakit karena penyakit liver. Berdasarkan hasil diagnosis, penyebabnya adalah kurang istirahat dan pikiran yang terlalu berat.

Siapakah direktur itu? Tidak, tidak, itu hanya cerita karangan saya kok. Saya hanya ingin menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu.

Jadi.. menurut Anda, apakah kata pepatah “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” itu benar?

Mari kita diskusikan.

Dalam cerita diatas, memang orang tersebut bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Namun bersenang-senangnya hanya sesaat, bersakit-sakitnya panjaaaaaang… sekali. Lalu apa yang salah?

Orang ini selalu menempatkan kebahagiaannya di masa depan, sehingga ketika ia mencapai hari itu di masa depan, kebahagiaannya sudah bergeser lebih jauh lagi di masa yang lebih jauh kedepan. Hidupnya akhirnya seperti marmut kecil di dalam roda berputar yang terus menerus berlari mengejar umpan yang digantungkan di luar sangkarnya. Sampai kapanpun tidak akan terkejar.

Pepatah lain yang saya dapatkan dari film Kungfu Panda, “Yesterday is a history, tomorrow is a mystery, today is a gift” dapat menggambarkan secara jelas mengenai apa yang harus dilakukan. Hari ini, sekarang ini, saat ini, detik ini adalah berkah. Hargailah, hiduplah di saat ini, tempatkanlah kebahagiaan di detik ini.

Lalu apakah kita harus menjadi orang yang “menikmati hidup”, yang bersenang-senang dan berfoya-foya setiap hari? Tentu saja tidak. Bersenang-senang lain dengan bahagia. Orang yang bersenang-senang belum tentu bahagia. Saya pernah mencobanya saat SMA dulu. Saya bersenang-senang seharian. Lalu apakah saya bahagia? Tidak. Saya hanya merasakan kehampaan. Dan pada malam harinya sebelum tidur, ketika saya ingat apa saja yang saya lakukan hari itu, bahkan saya merasa menyesal, karena tidak mengisi hidup saya satu hari itu dengan hal bermakna.

Jadi, menurut saya, dalam hidup ini kita memang harus mengejar impian, harapan, dan cita-cita kita agar hidup ini lebih bermakna, terisi, dan tidak hampa. Namun tanpa sadar seringkali kita berpikir “dengan mencapai impian tersebut saya akan menjadi lebih bahagia”, dan mengejarnya dengan membabi-buta tanpa mempedulikan makna kehidupan saat ini, karena tergiur kebahagiaan yang melekat pada impian tersebut. Bahkan kadang kita berpikir “biarlah hari ini saya menderita dan tidak bahagia, yang penting nanti saya bahagia.” Percayalah, kondisi nanti itu tidak akan tercapai. Ketika impian tersebut tercapai, kita akan segera mengejar yang lainnya lagi dan kembali tidak bahagia lagi.

Memang, dalam mewujudkan impian perlu kerja keras, tapi kata ‘kerja keras’ itu sendiri seringkali menimbulkan salah pengertian. Lebih tepatnya jika kata tersebut diganti dengan ‘berusaha dengan tekun dan konsisten’. Jadi kita tidak mengabaikan makna dari proses perjuangan menuju impian itu sendiri, kita menikmati proses tersebut. Dengan begitu kebahagiaan akan selalu bersama kita. So, bersenang-senang sekarang, bersenang-senang kemudian!

Apakah cara membaca buku Anda sudah efektif?

Pernahkah Anda membaca buku, namun Anda merasa tidak mendapatkan informasi apa-apa yang Anda ingat dari buku tersebut?

Jika ya, mungkin cara membaca Anda kurang efektif.

Sebagian besar dari kita membaca buku secara berurutan kata per kata, kalimat per kalimat mulai dari halaman pertama sampai paling belakang. Jika Anda memang sedang membaca novel atau buku cerita, memang harus seperti ini membacanya jika tidak mau bingung. Namun jika Anda sedang mencari informasi dari buku tersebut, seperti buku tips dan trik, buku referensi, atau buku pelajaran sekolah, teknik membaca seperti itu sangatlah membosankan dan tidak efektif. Saya pun dulu ketika menggunakan teknik itu hanya kuat bertahan maksimal 15 menit membaca sebelum tertidur pulas!

Mengapa bisa begitu?

Seperti yang telah saya katakan dalam posting lainnya, struktur otak manusia tidak linear dan berurutan. Jadi teknik membaca secara berurutan tidak seusai dengan cara kerja otak kita sehingga terkesan jenuh dan membosankan. Lalu bagaimana sebaiknya kita membaca?

Misalnya kita sedang membaca buku komputer. Pada bagian pendahuluan ada teks “Dewasa ini perkembangan teknologi komputer semakin pesat. Kapasitas harddisk, RAM, dan lain-lain semakin besar bla bla bla..” Ketika membaca teks yang tidak ingin Anda ketahui atau sudah Anda ketahui sebaiknya cepat saja. Misalnya Anda belum tahu apa itu RAM.

Kemudian Anda pindah ke daftar isi, ternyata bab 3 membahas tentang RAM. Anda pun membaca bagian pertama pada bab tersebut: “RAM atau Random Access Memory adalah memori yang isinya hilang jika catu daya dimatikan sehingga hanya digunakan saat komputer menyala misalnya untuk menyimpan hasil perhitungan sementara, dan sebagainya. Berbeda dengan ROM yang hanya dapat dibaca isinya, RAM ini dapat dibaca datanya maupun ditulisi data.”

Anda kemudian belum tahu apa itu ROM. Anda ke daftar isi lagi dan melompat ke bab 5 yang membahas tentang ROM. Demikian seterusnya. Kelihatannya aneh membaca dengan melompat-lompat. Namun Anda kini telah menjadi tahu dengan cepat apa itu ROM, RAM, dsb.

Anda bahkan tidak perlu melanjutkan membaca detail mengenai RAM seperti arsitektur dan cara kerjanya pada bab 3 jika tujuan Anda membaca adalah mendapatkan informasi secara garis besar mengenai komponen apa saja yang menyusun komputer. Jadi ada beberapa bagian yang seharusnya dilompati karena dibacapun tidak akan masuk otak jika tujuan Anda membaca bukan mendalami cara kerja dan proses pembuatan setiap komponen. Jadi sesuaikanlah dengan tujuan Anda membaca.

Mudah kan? Coba saja praktekkan jika Anda belum pernah menggunakan teknik ini sebelumnya. Bagaimana jika sudah tahu tentang hal ini dan sudah berhasil mempraktekkannya? Lebih bagus lagi. Kalau begitu sebarkanlah informasi ini agar semakin banyak orang yang gemar membaca dan dengan demikian budaya membaca bangsa kita akan semakin meningkat!

Cara Belajar yang Efektif dan Tidak Membuat Jenuh

Terkadang saat kita selesai belajar sesuatu, terutama pelajaran teori, beberapa hari kemudian kita sudah lupa lagi. Padahal saat belajar itu kita sudah sampai terbosan-bosan dan jenuh. Rasanya sangat merugikan bukan?

Mengapa bisa demikian?

Mungkin cara belajar kita perlu diubah. Seperti yang pernah saya katakan dalam posting lainnya bahwa otak manusia tidak bekerja berdasarkan urutan dan susunan. Namun lebih kepada hubungan antar ide tersebut.

Misalkan saja Anda disuruh menghafalkan benda-benda berikut: sendok, meja, obeng, garpu, paku, piring, palu, kursi. Lebih mudah mana, menghafalkan dalam urutan tersebut atau urutan berikut:

Meja – kursi –piring –sendok –garpu –obeng –paku –palu

Mengapa lebih mudah? Karena urutan tersebut memiliki hubungan ide yang jelas. Ada meja dan kursi, di atas meja ada piring. Di dalam piring tersebut ada sendok dan garpu. Tak jauh dari situ terdapat peralatan kerja seperti obeng, paku, dan palu.

Melalui contoh tersebut, Anda sudah mengetahui apa yang saya maksud dengan cara belajar yang efektif kan? Tidak perduli seberapa liar imajinasi Anda, asalkan hubungan antar idenya jelas, otak Anda akan menyerapnya juga. OK, selamat mencoba! :)


Sumber bacaan:
http://thinksimplenow.com/productivity/how-to-learn-without-memorizing/

Apakah Anda lebih menyukai browsing web di Internet daripada membaca buku? Mengapa?

Misalnya suatu saat Anda ingin liburan keluar negeri, misalnya Australia. Sebelum berangkat Anda ingin mencari informasi mengenai tempat menarik apa saja yang terdapat di negara tersebut. Anda punya koneksi internet, namun juga punya buku daftar lengkap beserta detail mengenai tempat-tempat menarik di Australia.

Mana yang Anda pilih?
Saya rasa kemungkinan besar Anda (termasuk saya) memilih menggunakan Internet.

Pertanyaannya, mengapa?
Itu karena cara kerja otak kita.

Apakah kita berpikir untuk mengunjungi tempat-tempat menarik tersebut satu per satu berurutan mulai dari abjad A sampai Z? Atau mungkin per kategori untuk mengunjungi seluruh restoran terlebih dahulu, kemudian semua museum, dan seterusnya? Tentunya tidak bukan?

Secara naluriah kita pasti berpikir kira-kira dengan cara seperti ini “ah, hari pertama saya ingin mengunjungi tempat wisata yang ada di Sydney, kemudian mengunjungi restoran terkenal yang lokasinya tidak jauh dari tempat itu. Hari kedua saya akan mengunjungi tempat wisata di Melbourne, setelah itu akan makan malam di restoran sekitarnya yang cukup terkenal.”

Nah, bagaimana jika kita harus mencarinya di buku? Syukur-syukur buku itu mengkategorikan tempat wisata berdasarkan tipenya (restaurant, museum, dsb). Bagaimana jika tidak? Pertama-tama kita harus mengecek satu per satu, lembar per lembar, objek wisata apa saja yang ada di Sydney. Kemudian mengulanginya lagi untuk restoran. Tapi itu baru di Sydney. Belum di tujuan kita berikutnya, Melbourne. Rasanya pasti argggghhhh…

Lain halnya jika kita mencari menggunakan internet. Kita cukup mencari satu tempat wisata yang ada di Sydney, kemudian pada halaman web tersebut akan ada link ke “obyek wisata lainnya di Sydney” dan juga “restoran-restoran di Sydney”. Tidak perlu pusing, tinggal klik, jadi deh..

Cara otak menyimpan informasi mirip dengan web. Otak tidak mengurutkan informasi yang diperoleh secara alfabetis, atau berdasarkan kategori tertentu, atau per bab seperti di buku. Cara otak kita menyimpan informasi lebih mirip dengan web di Internet.  Antar informasi yang satu dengan informasi lain yang saling berhubungan terhubung melalui link-link, seperti link-link yang menghubungkan antara halaman web yang satu dengan halaman web yang lain.

Hal ini kemungkinan besar terjadi karena struktur otak itu sendiri, yang terdiri dari neuron-neuron yang saling berhubungan, dan setiap kali seseorang belajar hal baru, hubungan antar neuron alias link-nya akan bertambah pula.

Karena struktur otak kita berbeda dengan buku, kita perlu menyesuaikan cara kita membaca buku agar dapat membaca buku dengan efektif dan tidak membosankan. Kita juga dapat memanfaatkan informasi yang telah kita ketahui ini untuk mengubah cara belajar kita agar lebih mudah masuk otak dan tidak cepat jenuh.
Nah, karena itulah orang-orang lebih menyukai browsing web. Logis kan? Logis donk :)

Sumber bacaan:
http://thinksimplenow.com/productivity/how-to-learn-without-memorizing/

Tuesday, July 17, 2012

Mental Kepiting vs Mental Sekrup

Siang hari itu saya dan teman-teman sedang refreshing ke Taman Anggrek. Niatnya ingin bermain ice skating, tapi setelah melihat harganya..

“Lho koq gak ada diskon mbak? Padahal hari Senin?”

Ternyata masih periode liburan sekolah. Alhasil daripada menghabiskan uang jajan sia-sia, kami tidak jadi bermain dan mampir ke KFC untuk sekedar minum dan duduk. Tiba-tiba salah seorang teman saya membuka topik obrolan yang cukup menarik. Katanya banyak orang yang mentalnya seperti kepiting. Jika melihat orang lain maju langsung dicapit, ditarik mundur lagi. 

Mungkin juga tepat dianalogikan dengan karet. Coba Anda pegang ujung karet gelang yang satu dengan tangan kiri, kemudian tarik ujung satunya lagi dengan tangan kanan. Apa yang terjadi? Seolah-olah seluruh bagian karet itu berusaha mencegah ujung karet yang ditarik tangan kanan untuk bergerak maju. Sekarang coba lepas ujung karet di tangan kanan Anda, ujung itupun kembali ke posisi semula karena “ditarik mundur” oleh teman-temannya yang notabene adalah karet juga. Apakah teman-temannya diuntungkan dengan melakukan hal tersebut? Tidak juga, mereka pun tetap di posisi semula, tidak bergerak maju.

Bagaimana dengan sekrup? Ketika ujung yang runcing dimasukkan ke dalam lubang dan sekrup diputar, seolah-olah bagian lainnya dari sekrup tersebut “mendorong maju” si ujung yang runcing ini untuk masuk ke dalam lubang. Apa hasilnya? Si ujung runcing bergerak maju, bagian lainnya pun juga ikut bergerak maju. Semuanya sama-sama diuntungkan.

Nah, marilah kita sama-sama mencoba belajar dari sifat sekrup ini. Bayangkan saja jika di antrian halte busway yang cukup panjang, ketika penumpang di antrian terdepan ingin masuk, ditarik mundur dan tidak diperbolehkan masuk oleh penumpang di antrian belakangnya. Apakah penumpang yang menarik mundur ini diuntungkan? Tidak juga, ia sendiri malah tidak bisa masuk kan karena terhalang penumpang di depannya? :)